Selasa, 17 April 2012

Kaidah-Kaidah Pengambilan Hukum


A.    Mantuq dan Mafhum

      Mantuq (المنطوق) adalah penunjukan lafal terhadap suatu hal (hukum) ketika diucapkan (tekstual), sedangkan Mafhum (المفهوم) adalah penunjukan lafal terhadap hukum yang tidak diucapkan (kontekstual).

Ø  Pembagian Mantuq

1.      Al-Nash, yaitu lafal yang tidak mengandung takwil. Seperti firman Allah SWT.
QS.al-Baqarah(2):196.

Artinya: “…Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kalian semua telah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
2.      Al-Zahir, yaitu lafal yang mengandung takwil atau perlu takwil. Contohnya seperti firman Allah.QS.al-Dzariyat(51):47.
Artinya: “Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa.”
Lafal ايد adalah bentuk jamak dari lafal يد yang berarti tangan, dan hal itu (tangan) mustahil bagi Allah SWT. Maka dari itu lafal ايد dalam ayat tersebut dipalingkan ke makna القوة yang berarti kekuatan.
Mafhum adalah metetapkan hukum dibalik dari arti mantuqnya. Dengan kata lain mafhum disebut dengan makna tersirat.

Ø  Pembagian Mafhum

1.      Mafhum muwafaqoh, yaitu penunjukan hukum yang tidak disebutkan mempunyai kesamaan dengan hukum yang diucapkan. Seperti pencegahan atau larangan memukul kedua orang tua yang dapat dipahami dari firman Allah QS. al-Isra' (17):23. MAfhum muwafaqahdari ayat ini adalah haram berkata apalagi memukul orang tua. “janganlah mendekati perzinaan” mafhum muwafaqah haram mendekati zina apalagi melakukannya.
2.      Mafhum Mukhalafah  yaitu menetapkan hukum kebaikan dari hukum kebalikan dari hukum mantuqnya.
Mafhum Mukhalafah  ini dapat terjadi pada uraian berikut :
a.      Mafhum dengan sifat, contohnya : hadits nabi :pada binatang yang digembalakan direrumputan bebas maka ada zakatnya.” Maka mafhumnya adalah binatang yang di kandang (diberi makan dengan mengeluarkan biaya) tidak wajib zakat.

وفي صد قة الغنم في سا ءمتها إذا كان ار بعين ففيها شاة إلى عشرين وما ٸة   

 Artinya : zakat kambing yang digembalakan apabila ada 40 sampai 120 kambing maka zakatnya satu kambing…. (HR. Ahmad, Bukhari dan An-Nasa’I)
b.      Mafhum dengan Ghayah, contohnya “ makan dan minumlah  hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam (fajar) maka hentikan makan dan minum artinya berpuasa.

وكلو ا وا شر بو ا حتى يتتبين لکم الخيط الا بيض من الخيط الا سو د من الفجر       
Artinya: Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.
c.       Mafhum dengan Syaarat. Contohnya, jika mereka isteri-isteri yang telah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya” (QS. Al-al-Talaq:6). MAfhum mukalafahnya adalah jika bukan wanita-wanita yang tidak dalam keadaan hamil maka tidak harus memberikan nafkah.
                     و ا ن کن أ و لا ت حمل فأ نفقوا علهمن
Artinya : Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.
d.      Mafhum dengan bilangan. Contohnya Firman Allah SWT. “Maka derakanlah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera. Mafhum mukhalafahnya yaitu tidak boleh
menderanya kurang dari delapan puluh atau lebih dari delapan.
Sebagaimana firman Allah yang artinya :
“ orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka derakanlah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka uat selama-lamaya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik .
e.       Mafhum dengan gelar (laqob) contoh : Muhammad adalah utusan Allah. Mafhum mukhalafah adalah selain Muhammad (Ahmad M. Syafi’i).
 
Ø Kaidah-Kaidah yang berhubungan dengan Mantuq dan Mafhum
·         مفهو م لو  فقة حجة

Artinya : Mafhum muwafaqah (makna tersirat  yang sesuai)
Maksud kaidah ini ialah bahwa natijah dari mafhum muwafaqah yang tidak bertentangan dengan syara dapat dijadikan sebagai pegangan hukum. Contohnya, Haram berkata “uh” kepada kedua orang tua maka menghardik, menghina bahkan memukulnya juga diharamkan.
·        و ا حل ا لله ا البيع وحر م ا لر بوا


Artinya: “Allah mengharamkan jual beli dan mengharamkan riba.
 (Al-Baqarah : 2/ 275)
·        وجميع مفا هيم المخالفة حجة ٳلااللقب
            Artinya: “Semua mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah hukum kecuali mafhum                                 laqob.”
Artinya: “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Larangan membakar (atau hal-hal yang sifatnya merusak) harta anak yatim yang dapat dipahami dari firman Allah QS. al-Nisa' (4): 10.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
3.      Mafhum mukholafah, yaitu lafal yang disebutkan tidak sama dengan yang diucapkan, atau dengan kata lain lafadz tersebut dipahami kebalikannya. Contohnya antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Tidak adanya kewajiban zakat bagi hewan yang digunakan untuk bekerja yang dipahami dari sabda Nabi SAW:
فى ساْيمة الغنام زكاة
Artinya: “Pada hewan-hewan yang digembalakan terdapat (wajib) zakat.”
b.      Tidak adanya haji kecuali pada bulan-bulan tertentu yang telah masyhur dari pemahaman firman Allah QS. al-Baqarah (2):197.
Artinya: “Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.”
c.       Diperbolehkannya jual beli pada hari Jum'at sebelum dikumandangkannya adzan yang dipahami dari firman Allah QS. al-Jum'ah (62): 9.
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Syarat-syarat Mafhum Mukholafah
1.      Mafhum mukholafah tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun dalil mafhum muwafaqah. Misalnya : اَلْمَاءُ مِنْ اَلْمَاءِ
(air itu dari air). Mafhumnya, tidak wajib mandi setelah bersenggama. Padahal ini berlawanan apabila dibandingkan dengan  dalil yang mantuq seperti sabda Rasulullah SAW.: “apabila bertemu 2 khitan (bersenggama) maka wajib baginya mandi walaupun tidak keluar (air mani)”.
2.      Yang dimaksudkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasa terjadi. Misalnya pada firman Allah SWT QS. An-Nahl [16]: 14:


“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar… “
Maka dalil di atas tidak menunjukan pada larangan untuk memakan daging yang tidak segar.
3.      Mafhum mukholafah itu bukan untuk memberikan penghormatan atau menguatkan suatu keadaan, misalnya sabda Nabi SAW,:”Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam, dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya”. Muttafaq Alaih. Hadits ini terikat dengan kata iman, maka tidak hanya dipahami sebagai penguatnya saja.
            Macam-macam Mafhum Mukholafah
1.      Mafhum Shifat, yaitu mengaitkan hukum pada zat dengan salah satu sifatnya, seperti firman Allah SWT tentang kifarat pembunuhan:
Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin (Q.S. An-Nisa ayat 92)
2.      Mafhum ‘Illat, yaitu mengaitkan hukum pada ‘illatnya, seperti mengharamkan khamr karena dapat memabukkan
3.      Mafhum ‘Adad, yaitu mangaitkan hukum pada jumlah / bilangan tertentu, seperti firman Allah SWT tentang had menuduh zina:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera” (Q.S An-Nuur [24]: 4)
4.      Mafhum Ghoyah, yaitu lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghoyah (batasan, hinggaan), hingga lafadz ini adakalanya “ilaa” atau “hattaa”. Seperti firman Allah SWT,:
“… apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku …”(Q.S Al-Maidah [5]: 6). Dan firman Allah ta’ala: “… dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci …” (Q.S Al-Baqarah [2]: 222)
5.      Mafhum Hashr, yaitu mengkhususkan hukum dengan menyebutkan adat dari adat-adatnya, seperti “innamaa” dan naïf (meniadakan) sebelum “illaa”, seperti firman Allah SWT. Tentang makanan:
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…” (Q.S Al-An’aam [6]: 145)

B.     Mujmal dan Mubayan

     Mujmal (المجمل) secara bahasa: samar-samar dan bearagam / majemuk. Sedangkan menurut istilah: sesuatu yang membutuhkan penjelasan. Contoh seperti lafal قروء pada ayat:
قروء ثلاثة بانفسهن يتربصن مطلقات وال
karena ada persekutuan makna dalam lafal al-quru' maka memungkinkan lafal tersebut mempunyai arti haidh dan suci.
      Bayan (
البيان) secara bahasa: jelas. Sedangkan menurut istilah: mengeluarkan sesuatu dari kondisi musykil kepada kondisi jelas.
Macam-macam Ijmal:
Bayan dibagi menjadi:
1.      Bayan (penjelas) dengan ucapan (bi al-qawl) seperti pada firman Allah SWT. yang menerangkan puasa tamatu' QS. Al-Baqarah (2): 196.

Artinya: “…Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kalian semua telah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna...”
2.      Bayan dengan perbuatan atau pekerjaan, seperti pekerjaan Nabi yang menjelaskan tata cara shalat dan lainnya.
3.      Bayan dengan tulisan (kutub), seperti bayan akan kadar zakat, dan diyat anggota badan sebagaimana yang telah dijelaskan Nabi SAW. melalui hadits-haditsnya.
4.      Bayan dengan isyarat, seperti isyarat nabi SAW sambil menunjukkan semua jari tangan dalam satu isyarat “satu bulan adalah seperti ini, seperti ini dan seperti ini. Maksudnya 30 hari. Kemudian nabi memberikan isyarat lagi dengan telapak tangannya sampai tiga kali, dan pada urutan ketiga beliau tidak menunjukkan ibu jarinya sebagai isyarat bahwa dalam bulan terkadang ada yang hanya sejumlah 29 hari.

C.    Nasakh dan Mansukh

1.      Pengertian Nasakh

            Al-Nãsikh (الناسخ) secara bahasa berarti menghilangkan, menghapus, atau memindah.
Dalam tinjauan syara', al-nãsikh adalah menghilangkan atau membatalkan hukum syara' yang telah ditetapkan terdahulu dengan dalil syara' yang baru.
          ر فع ا لشا ر ع حكماشر عيا بل ليل متر ا خ
          Membatalkan pelaksanaan hukum dengan hukum yang datang kemudian.”
            Dalam Nasakh sebenarnya hukum lama masih berlaku seandainya tidak ada hukum baru yang menghapusnya. Dan orang yang pertama kali membahas masalah nasakh adalah Imam Syafi’i. Beliau memasukan nasakh sebagai penjelasan hukum bukan mengosongkan atau menghapuskan nash dari hukum.

2.      Syarat-Syarat Nasakh

Untuk menasakh suatu nash, disyaratkan harus memenuhi empat syarat di bawah ini:
a.       Hukum yang dinaskh itu tidak disertai dengan keterangan yang mengidentifikasi bahwa hukum itu berlaku secara abadi. Maka tidak boleh menaskh ayat tentang jihad.
b.      Ayat yang dinaskh bukan termasuk kepada perkara yang menurut pemikiran yang jernih dapat diketahui kebaikan dan keburukannya. Seperti iman kepada Allah, berbakti kepada kedua orang tua, adil, zalim, berdusta dan sebagainya.
c.       Ayat yang menasikh (menghapus) datang belakangan. Karena hakikat nasakh mmengakhiri pemberlakuan hukum yang dinasakh.
d.      Jika kedua naskh baik ayat yang menaskh dan yang dinaskh tidak dapat dikompromikan. (Abu Zahra, h. 190).
3.      Hikmah Nasakh
Menurut Adbul Wahhab Khallaf hikmah adanya nasakh antara lain:
a.       Hukum Allah diturunkan untuk merealisir kepentingan hidup manusia. Kepentingan hidup manusia selalu berubah disebabkan perubahan hidup mereka disebabkan bergantinya waktu dan tempat. Maka nasakh sebagai salah satu jalan memperjelas hukum hasilnya sejalan dengan kepentingan hidup manusia di mana saja manusia hidup.
b.      Keadilan dalam pembentukan hukum diperlukan adanya tahapan sehingga manusia tidak merasa kaget dan tidak merasa berat. Seperti proses keharaman khamar.(khallaf, h.357).
4.      Contoh-contoh Nasakh
a.       Al-Quran dengan Al-Quran. Contohnya ayat yang berbicara tentang seruan membakar semangat 20 orang mukmin yang sabar akan mengalahkan musuh sebanyak 200 orang (QS.Al-Anfal:65). Kemudian dinaskh (dihapus) denagan ayat lain yang menegaskan membakar semangat 100 orang yang sabar akan  mengalahkan musuh sebanyak 200 orang(QS. Al-Anfal:66).
b.      As-Sunnah dengan Al-Quran . Contoh hadits Rosululah yang menyatakan menghadap ke Baitul Maqdis ketika sholat selama 16 sampai 17 bulan (HR. Bukhari). Lalu ketentuan itu dihapus oleh Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 114 yang menyerukan sholat menghadap ke Baitullah (Mekkah).
c.       As-Sunnah dengan as-Sunnah. Seperti larangan berziarah kubur pada waktu permulaan islam. Kemudian Rosul dengan hadistnya membolehkan ziarah kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat ziarah kubur (HR.Muslim).
Kaidah-Kaidah yang berkaitan dengan Nasakh
·         اللقطعى ل ينسخه الظن
Artinya : Dalil qat’I tidak dapat dihapus dengan dalil zahmi (Abdul Hamid Hakim, h. 94 )
Dalil qat’I hanya terdapat dalam Quran, hadits, serta sebagian ijma. Sedangkan dalil zhanni sepertii qiyas, ihtisan, mashalah mursalah, urf dan syar’u man qablana.
·         Yang menghapus diperbolehkan asalkan lebih ringan atau sepadan dengan yang dihapus. Contoh iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya masa iddahnya setahun. QS. Al-Baqarah : 240)

والذين ين يتو زو فو ن منكم و يد رون ٲ زوجا و صية لأز و جهم متعا الى الو ل غير إ خر ا ج     

Artinya : ‘Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggal isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)…”
Kemudian dihapus dengan iddah 4 bulan 10 hari (QS. Al-Baqarah: 234)

والذين ين يتو زو فو ن منكم و يد رون ٲ زوجا يتر بصن با نفسهن ا ر بعين ا شهر و عشر

Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beribadah) empat bulan sepuluh hari.”
·         Yang mengahapus boleh lebih berat dari pada yang dihapus. Hal ini didasari oleh Al-Quran Surat Al-Baqarah : 106) Tapi sebagian Ulama ada yang tidak membolehkan. Contoh penghapusan puasa Asyura denganpuasa Ramadhan.
ما ننسخ من أ ية ا و ننسها نأ ت بخير منها أو مثلها أ لم تعلم أن أ لله علي كل شئ قد ير
            Artinya : “ Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atua Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,      Kami datang kan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah          kamu mengetahui bahwa sesungguhnnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” 
·         Ijma’ dan Qiyas tidak dijadikan sebagai penghapus (nasikh).
4.    Pembagian Nasakh
1        Nasakh Sharih
Nasakh Sharih ialah Nasakh yang menyatakan dengan jelas bahwa hukum yang dimansukh telah habis masa berlakunya
2        Nasakh Dhimni
Nasakh Dhimni ialah mengganti (menasakh) salah satu dari 2 nash yang saling berlawanan dan keduanya tidak dapat dikompromikan.
Al-Nãsikh menurut sebagian ulama' terbagi menjadi:
1.      Menghapus tulisan (al-rasm) dan menetapkan hukum.
Contoh hadits Nabi SAW:
البتة  فارجموهما  زنيا ااذ والشيخة الشيخ
“Kakek-kakek dan nenek-nenek yang rajin berzina maka rajamlah keduanya, janganlah ragu.”
Sahabat ‘umar RA berkata bahwa sesungguhnya kami telah membaca hadits dan bahwasanya nabi SAW telah memberlakukan hukum rajam terhadap dua orang yang berzina muhshon. Maksud lafal
محصنين dalam hadits diatas adalah والشيخجة الشيخ
2.      Menghapus hukum dan menetapkan tulisan (al-rasm).
Contoh QS. al-Baqarah (2): 240.

Artinya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini di nasikh dengan QS. al-Baqarah (2): 234.
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
3.      Menghapus dua perkara (hukum dan tulisan) secara bersamaan.
Seperti hadits riwayat Muslim dari 'aisyah ra.
يحرمن معلومات  رضعات عشر انزل فِيما كان
Hadits yang menerangkan bahwa yang dapat menyebabkan haramnya sebuah pernikahan sepuluh kali susuan yang diketahui, ini kemudian dinasikh dengan hadits yang menerangkan lima kali susuan yang mengharamkan:
 يحرمن معلومات بخمس
Me-nasikh al-Kitab (ayat Al-Quran) dengan al-Kitab (ayat al-Quran lain) juga diperbolehkan, seperti dalam ayat tentang 'iddah perempuan sebagaimana yang diterangkan diatas.
4.      Menghapus al-Sunah dengan al-Kitab.
Seperti menghadap Baitul maqdis dalam shalat yang ditetapkan dengan sunah fi'liyah (perbuatan Nabi). Dalam hadits riwayat Bukhori Muslim disebutkan "bahwasanya Nabi SAW menghadap baitul maqdis dalam shalatnya selama 16 bulan ". Hadits kemudian dinasikh dengan firman Allah QS. al-Baqarah (2): 144.
Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langi, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
5.      Nasikh al-Sunah dengan al-Sunah. Seperti hadits riwayat imam Muslim:

فزورها القبر زيارة عن نهيتكم كنت
Artinya: “(dulu) Aku (Nabi) melarang kalian ziarah kubur. Maka (sekarang) Berziarahlah kalian

Sebagian ulama' juga ada yang berpendapat tentang diperbolehkannya menasikh al-kitab dengan al-sunah. Seperti firman Allah QS al-Baqarah :(2) 180:

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Ayat diatas dinaskh oleh sabda Nabi SAW:
ماجه وابن الترمذي ه روالورث لاوصية
Artinya: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. al-Tirmidzi dan Ibn Majah.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar